SEJARAH DESA GIYANTI

SEJARAH DESA GIYANTI

SEJARAH DESA GIYANTI

DESA GIYANTI

KECAMATAN ROWOKELE KABUPATEN KEBUMEN

JEJAK SEJARAH DAN PENINGGALAN MASA LALU

 

PEMBUKAAN

              Kebumen adalah salah satu kota kabupaten yang terletak di Jawa Tengah Bagian Barat yang memiliki wilayah 1.281.12 Km2 terdiri dari 26 Kecamatan 11 Kelurahan dan 449 Desa, dengan jumlah penduduk 1.197.982 Jiwa (2019). Secara geografis Kabupaten Kebumen terletak pada 7º27’-7º50’ lintang Selatan dan 109º33’-109º50’ Bujur Timur Bagian selatan Kabupaten Kebumen merupakan dataran rendah, sedangkan pada bagian Utara berupa pegunungan dan perbukitan yang merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Serayu Selatan.

              Sementara itu di barat wilayah Gombong, terdapat kawasan Karst Gombong Selatan sebuah rangkaian pegunungan kapur yang membujur hingga pantai selatan berarah Utara-Selatan. Daerah ini memiliki lebih dari seratus gua berstalaktit dan stalagmite. Sementara itu panjang pantai sekira 53 Km yang sebagian besar merupakan pantai dengan fenomena gumuk pasir.

              Sungai terbesar di Kabupaten Kebumen adalah Sungai Luk Ulo, Sungai Jatinegara, Sungai Karanganyar, sungai Kretek, sungai Kedungbener, sungai Kemit, Sungai Gombong, sungai Ijo, Sungai Kejawang dan Kali Medono.

              Kabupaten Kebumen berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Purworejo di sebelah Timur, Kabupaten Banjarnegara di bagian Utara, Samudera Hindia di Selatan , Serta Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap di sebelah Barat. Masyarakat Kebumen Mayoritas berprofesi sebagai Petani dan Islam sebagai Agama Mayoritas (98,78%).

              Selain hasil Pertanian sebagai penghasilan utama masyarakat, Kabupaten Kebumen juga terkenal sebagai penghasil Biji Genitri (Rudraksa) dengan Kwalitas terbaik di Indonesia yang di Ekspor ke Manca Negara utamanya ke China dan India.

 

KECAMATAN ROWOKELE

              Jika kita menelusuri jalan Propinsi dari arah timur Kebumen menuju ke Barat (arah Banyumas) selalu kita memasuki wilayah Kabupaten Banyumas kita akan mendapatai sebuah Kecamatan dengan Nama Rowokele.

              Kecamatan Rowokele memiliki Luas wilayah 101.22 Km2 terdiri dari 11 Desa dengan Jumlah Penduduk Sejumlah ± 42.216 Jiwa, Salah satu Desa yang terdapat di Wilayah Kecamatan Rowokele adalah Desa GIYANTI. Sebuah Desa yang memiliki Luas Wilayah 848 Ha. Dengan mayoritas Penduduknya berprofesi sebagai Petani.

 

SEJARAH DESA

              Seperti kita ketahui bersama pada lazimnya nama sebuah tenpat atau Desa yang berada di Nusantara ini pada umumnya dan Pulau Jawa pada Khususnya tidak akan pernah lepas dari Dua Hal.

Pertama : Nama Tempat atau Desa diambil atau diberikan oleh leluhur kita pada masa saat itu, dikarenakan adanya ciri-ciri alam Contoh:

1.     Nama Tanaman/ Tumbuhan uang banyak tumbuh di area itu.

2.     Kondisi atau bentuk kondisis Alam sekitarnya yang menjadi ciri Khas dan atau menyerupai sesuatu (Bebatuan, Sungai, Kontur Tanah Dll).

Kedua    : Nama Desa di ambil atau di berikan oleh leluhur kita atas dasar satu peristiwa atau Kejadian yang dialami oleh leluhur kita pada saat itu.

Dari dua hal tersebut diatas nama sebuah Desa pastinya akan memunculkan sebuah Dongeng, Legenda dan Foklor asal-usul nama Desa tersebut yang diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

 

ASAL USUL NAMA DESA GIYANTI

              Giyanti dalam bahasa sansekerta bermakna Menghitung (Hari) sedang dalam bahasa Jawa Giyanti berasal dari kata Nganti yang bermakna Menunggu atau Menanti.

              Nama Desa Giyanti yang terletak di Kecamatan Rowokele Kabupaten Kebumen Jawa Tengah, berdasarkan beberapa sumber catatan sejarah yang ada di Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat maupun  babad yang di dalamnya memuat tentang keberadaan Desa Giyanti menerangkan bahwa nama Desa Giyanti muncul pada kisaran tahun 1670 an terkait dengan pembrontakan Trunojoyo terhadap Keraton Mataram di Era Kepemimpinan Amangkurat I.

              Amangkurat I Naik Tahta Mataram pada 1646, menggantikan Sultan Agung yang telah memperluas Wilayah Mataram hingga mencakup sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta beberapa Vasal seberang lautan di Sumatera bagian selatan dan Kalimantan. Tahun-tahun awal pemerintahan Amangkurat I ditandai dengan eksekusi dan Pembantaian terhadap musuh-musuh Politiknya. Menanggapi usaha kudeta yang gagal dari saudaranya sendiri yang bernama Pangeran Alit, Amangkurat I Memerintahkan Pembantaian terhadap Ulama yang dia percaya terlibat dalam Pemberontakan Pangeran Alit, dan Pangeran Alit sendiri terbunuh dalam Kudeta yang gagal itu.

              Pada Tahun 1659 Amangkurat Mencurigai Pangeran Pekik, ayah mertuanya dan Putra Adipati Surabaya yang di taklukan yang tinggal di Keraton Mataram setelah Kekalahan Surabaya, yang memimpin sebuah persengkokolan mengancam hidupnya.

              Amangkurat I memerintahkan untuk membunuh Pangeran Pekik dan para kerabatnya. Pembantaian Wangsa Kebangsawanan Jawa Timur inilah yang menjadi alasan utama terjadinya keretakan antara Amangkurat dan para Kawula Jawa Timur dan menyebabkan Konflik dengan putranya sendiri (Kelak Amangkurat II), yang juga merupakan cucu Pangeran Pekik, Selama beberapa tahun berikutnya Amangkurat melakukan sejumlah pembunuhan lainya terhadap anggota Bangsawan yang tidak berkenan dengan kebijakan-kebijakannya.

              Raden Trunajaya (Juga di eja Trunojoyo) adalah keturunan penguasa Madura, yang di paksa tinggal di Keraton Mataram Setelah Kekalahan dan Pencaplokan oleh Mataram pada 1624. Setelah ayahnya di eksekusi oleh Amangkurat I pada 1656, dia meninggalkan Keraton pindah ke Kajoran dan menikahi Putri dari Raden Kajoran, Kepala dari Keluarga yang berkuasa di sana.

              Keluarga Kajoran adalah Keluarga Ulama Kuno dan terikat pernikahan dengan keluarga Kerajaan. Raden Kajoran khawatir dengan kebrutalan Pemerintahan Amangkurat I, termasuk Eksekusi para bangsawan di Keraton pada 1670, Kajoran memperkenalkan Menantunya Trunajaya Kepada Putra Mahkota yang baru saja di usir oleh Raja karena Skandal dan keduanya menempa persahabatan yang meliputi ketidak sukaan bersama terhadap Amangkurat I.

              Pada  1671  Trunajaya  kembali  ke  Madura,  di  mana  dia  memanfaatkan  dukungan  putra mahkota untuk mengalahkan gubernur setempat dan menjadi penguasa Madura. Setelah menjadi Penguasa Madura Pangeran Trunojoyo melakukan perlawanan terhadap Keraton    Mataram, Kebrutalan Amangkurat I yang mengeksekusi ulama-ulama dan bangsawan-bangsawan keraton yang tidak sejalan dengan kebijakannya dan menjadi lawan politiknya   menjadi alasan utama Pangeran trunojoyo untuk melakukan pemberontakan terhadap mataram.

              Pada tahun 1676 Pangeran Trunojoyo mampu mengalahkan  Mataram dan merebut kekuasaan dari tangan Amangkurat I. hal tersebut memaksa Amangkurat I bersama pasukan Mataram yang masih setia terhadapnya melarikan diri kearah barat.

 

ALAS BATUR AGUNG

              Dalam pelariannya kearah barat Amangkurat I beserta pasukannya pada suatu hari memasuki satu perkampungan yang bernama Alas batur Agung. Yaitu sebuah perkampungan disebalah barat Gombong (Kebumen).

              Nama perkampungan Alas batur Agung diambil dari sebuah tempat yang berada di tengah- tengah perkampungan berupa Tumpukan-tumpukan batu (Batur) yang menyerupai Punden Berundak (Saat ini disebut Punden Lura Karsa) Diantara  rombongan  yang  menyertai  pelarian  Amangkurat  I kearah  barat  dan  sampai  di perkampungan alas batur agung ikut serta pula keponakan Amangkurat I yang masih berusia muda dan menjabat sebagai Pengageng (Perwira) pasukan bernama Raden Trunoyudha yang terluka   akibat   peperangan   melawan   pasukan   Trunojoyo.   Karena   lukanya   itu   raden Trunoyudha terpaksa di tinggal di perkampungan alas batur Agung oleh rombongan agar tidak menghambat pelarian Amangkurat I menghindari pengejaran Pasukan Trunojoyo.

 

SENDANG PANGURIPAN

              Setelah di tinggal oleh rombongan dalam kondisi tubuh luka dan rasa lapar yang mendera  Raden Trunojoyo memilih untuk beristirahat di sebuah sendang ( Sumber air ) bernama Sendang Panguripan. Tidak berapa lama kemudian raden Trunoyudha yang sedang beristirahat di sekitar sendang panguripan, dari kejauhan melihat seorang anak perempuan yang baru beranjak remaja yang memiliki wajah cantik jelita sambil membawa dandang ( alat menanak nasi ) dan sebuah kendi  mendatangi sendang.

              Sambil bersenandung gadis tersebut mencuci dandang di sendang tersebut. Tidak beberapa lama kemudian si gadis beranjak dari sendang   setelah mengisi air kedalam kendinya. Karena terpesona oleh kecantikan si gadis raden Trunoyudha dalam kondisi lelah , lapar dan tubuh yang luka berlahan mendekati sang gadis. Namun sebelum sampai dihadapan si gadis raden Trunoyudha karena kondisinya terjatuh dan pingsan.

              Melihat seorang pemuda asing dengan pakaian yang tidak umum jatuh pingsan dihadapannya, si gadis terkejut hingga dandang dan  Kendi yang dibawanya terlepas jatuh ketanah sehingga kendin yang dibawanya   pecah berantakan. Karena terkejut dan ketakutan si gadis secepat kilat lari pulang kerumahnya.

 

EMPU WIROKELANG

              Sesampai di rumahnya si gadis memberitahukan keberadaan pemuda asing yang pingsan di dekat sendang panguripan kepada bapaknya yang bernama Empu Wirokelang. Empu wirokelang adalah seorang ahli membuat Keris dan sekaligus sosok yang dituakan Di perkampungan alas batur agung (Kepala Kampung). Mendengar cerita putrinya si empu mengajak beberapa orang kampung menuju sendang panguripan.

Setelah melihat sosok pemuda pakaian Pengageng pasukan keraton mataram yang pingsan tergeletak ditanah Empu Wirokelang segera memerintahkan orang-orang kampung yang ikut dengannya membopong tubuh Raden Trunoyudha untuk di bawa kerumahnya. Sesampai dikediaman empu Wirokelang memerintahkan putrinya untuk menanak nasi dan menyiapkan  makanan   dan  minuman .  Namun si putri tidak  segera beranjak  melaksanakan perintah  bapaknya dan  melihat  hal  itu  empu  Wiroyudha menjadi  marah  karena  putrinya dianggap tidak menghiraukan perintahnya dan tidak menghormati tamu. Melihat kemarahan bapaknya si gadis buru-buru menceritakan bahwa Dandang yang biasa untuk menanak nasi rusak tertinggal demikian juga kendinya juga pecah di dekat sendang panguripan.

              Dalam kondisi masih dalam keadaan marah ,  setelah mendengar   cerita putrinya   empu Wirokelang mengucap kata-kata  ( Sumpah ) Berupa larangan pada Putrinya dan penduduk kampung alas Batur Agung bahwa sejak hari itu dan seterusnya penduduk alas batur agung dilarang mengambil air di sendang panguripaan dengan mengunakan dandang dan kendi , bagi siapapun yang melanggar larangan itu akan tertimpa penyakit gatal-gatal (Gudik) dan akan diusir dari kampung alas batur agung.

 

DYAH AYU BOJA

              Sejak hari itu raden Trunoyudha tinggal di kediaman empu Wirokelang untuk menyembuhan luka-lukanya. Sudah barang tentu yang merawat dan melayani Raden Trunoyudha adalah putri sang empu yang ternyata bernama Dyah Ayu Boja.

              Dyah Ayu Boja saat itu masih seorang gadis yang baru menginjak remaja (usia 13-14 tahun) sedang raden Trunoyudha berusia sekitar 20 tahun. Dalam kesehariannya Dyah Ayu Boja selain membantu bapaknya yang seorang empu pembuat keris, Dyah Ayu Boja dikenal juga sebagai seorang penari yang selalu tampil menari dalam   pelaksaan kegiatan tradisi warga kapung Alas batur agung disaat Wulan Ndadari (Malam Bulan Purnama). Tradisi itu dilaksanakan oleh warga bertempat di Batur agung yang saat ini di  kenal dengan nama punden lura Karsa. Setelah sembuh dari luka-lukanya raden Trunoyudha memutuskan untuk sementara waktu menetap   di kampung Alas batur Agung tidak berani langsung pulang ke Mataram karena belum mengetahui perkembangan kondisi Karaton mataram saat itu. Setelah memutuskan untuk  sementara  waktu  menetap  di  kampung  Alas  batur  agung  dalam  kesehariannya menemani Dyah Ayu Boja membantu Empu Wirokelang dalam proses pembuatan keris di besalen (bengkel) milik sang empu (Sekarang dikenal dengan situs watu kenteng) dengan Tugas utama menempa bahan keris.

 

KEMBALI KEMATARAM

              Pepatah jawa mengatakan witing trisno jalaran soko kulino (awal jatuh cinta karena kebiasaan).demikian juga apa yang terjadi pada Raden Trunoyudha dan Dyah Ayu Boja , karena dalam kesehariannya mereka selalu bersama-sama akhirnya dua anak manusia itu saling jatuh cinta. Hubungan dua sejoli itu tidak luput dari pengamatan sang empu, sebagai seorang bapak sang empu paham bahwa putrinya sedang jatuh cinta pada raden Trunoyudha. Namun mengingat sang putri masih belum cukup dewasa di tambah lagi bahwa sang putri sudah ditinggal wafat ibunya sejak balita. Empu Wiroyudha belum berkenan merestui hubungan dua sejoli itu namun juga tidak melarangnya.

              Setelah beberapa bulan menetap di kampung Alas Batur Agung , pada suatu malam Empu Wirokelang memanggil raden Trunoyudha untuk bicara empat mata . saat irulah empu Wiro kelang menanyakan keseriusan hubungan  Raden trunoyudha dengan putrinya. Sudah barang tentu  raden  trunoyudha  menjawab  bahwa  dirinya  ingin  mempersunting  Dyah  Ayu  Boja sebagai istrinya. Mendengar jawan Raden Trunoyudha sang empu menyetujuinya dengan syarat raden Trunoyudha harus menghadirkan orang tuanya untuk melamar putri sang empu.

              Mendengar syarat yang di berikan sang empu raden Trunoyudha tanpa pikir panjang menyanggupinya  dan  meminta  ijin  untuk  pulang  ke  Mataram  dan  berjanji  akan  segera kemabli dengan membawa orang tuanya untuk melamar putri sang empu . Empu Wirokelang merasa puas mendengar jawaban raden Trunoyudha dan sebagai bentuk restu serta perjanian diantara mereka Empu Wirokelang memberikan sebuah Keris pusaka kepada raden Trunoyudha.

 

TANDA SETIA

              Keesokan harinya raden Trunojoyo menemui Dyah Ayu Boja di sebuah tempat  ditepi sungai dimana biasanya mereka bercengkerama untuk pamit pulang ke Mataram menjemput orang tuanya.  Raden  Trunoyudha  berjanji  pada  Dyah  Ayu  Boja    akan  secepat  mungkin kembali ke kampung Alas Batur Agung untuk melamar dirinya. Sebagai bukti cintanya pada sang gadis raden Trunoyudha menggali tanah dengan keris pemberian Empu Wirokelang di dua titik yang berdekatan dimana tanah yang di gali olehnya mengeluarkan air. Selesai menggali tanah raden Trunoyudha mengucapkan janji pada Dyah Ayu Boja , bahwa galian tanah yang dibuatnya tetap memancarkan air maka selama itu juga cintanya pada Dyah Ayu Boja tetap mengalir dan bersemayam dihatinya. (Posisi sumber air sekarang berada di belakang makam Perawan Sunti ) . Setelah mengucapkan janji setianya berangkatlah Raden Trunoyudha pulang ke Mataram untuk menjemput orang tunya dengan diiringi isak tangis Dyah Ayu Buja.

 

PENANTIAN PANJANG

              Setelah kepulangan sang kekasih   Dyah Ayu Boja setiap hari pada sore sampai menjelang petang sepulang membantu bapaknya di abselen (bengel) keris selalu mendatangi sumber  air  yang  dibuat  oleh  raden  Trunoyudha  sebagai  bukti  cintanya.  Duduk di  dekat sumber di  temani  oleh seorang emban (Pembantu  wanita ) menantikan  kedatangan  sang pujaan hati sambil melantunkan tembang-tembang. Namun setelah jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan apa yang di nanti-naantikan oleh sang gadis tidak juga datang.

              Penantian yang panjang itu menjadikan sang gadis gundah gulana walaupun hati kecilnya merasa yakin bahwa sang kekasih pasti menepati janjinya namun nasib berkata lain. Setelah berbulan-bulan dalam penantiaan panjang Dyah Ayu Boja jatuh sakit, hal itu dikarenakan dalam penantiannya sang gadis sampai lupa makan lupa  tidur. Semakin hari sakitnya Dyah Ayu Boja semakin parah dan akhirnya setelelah genap 3 tahun dalam penantiannya sang PERAWAN SUNTI berpulang. Dan jasadnya di makamkan di tepi sungai didekat 2 sumber tanda cinta yang dibuat oleh raden Trunoyudha.

 

TERLAMBAT MENEPATI JANJI

              Sementara raden Trunoyudha sesampai di Mataram mendapatkan situasi yang berbeda Sultan mataram Amangkurat I telah wafat dan tampuk kepemimpinan Kasultanan Mataram sudah beralih ke putranya yang bergelar Amangkurat II   dan telah memindahkan pusat pemerintahan kraton Mataram dari kraton Plered ke keraton Kartasura. Sudah barang tentu pemindahan ibu kota kasultanan mataram mengharuskan pula orang tua raden Trunoyudha ikut pindah ke Kartosura. mengetahui hal tersebut raden Trunoyudha segera menyusul ke kraton kartosura untuk menemui orang tuanya. Namun malang tidak dapat di tampik sesampai di  kartosura  raden  Trunoyudha  di  tangkap  oleh  Amangkuraat  II  dan  dijatuhi  hukuman larangan  keluar  Keraton.  Hukuman tersebut  dikarenakan  sebagai  salah  satu  pengageng pasukan raden Trunoyudha dianggap  tidak mampu melindungi rajanya hingga wafat dalam pelariaan. dalam menjalani hukuman itu raden Trunuyudha merasa sangat tersiksa karena selalu teringat janjinya pada sang kekasih.

              Setelah kurang lebih 3 tahun menjalani hukuman larangan  keluar dari lingkungan keraton, Sri Susuhunan Amangkurat II memberikan pengampunan pada raden Trunoyudha setelah mendapat bukti bahwa justru raden Trunoyudha bersedia ditinggal dalam keadaan luka-luka agar tidak menghabat pelarian Amangkurat I.

              Setelah mendapat pengampunan dari rajanya , raden Trunoyudha segera mengajak keduaa orang tuanya berangkat ke kampung Alas batur Agung untuk menepati janjinya pada kekasihnya Dyah Ayu Boja putri dari Empu Wirokelang.Sesampai di kampung Alas batur Agung betapa terkejutnya raden trunoyudha hanya mendapati Pusara sang kekasih.

              Pada awalnya  Empu  Wirokelang  murka  melihat  kedatangan  kekasih Putrinya.Karena menganggap   raden Trunoyudha  telah mengingkari janji sehingga menyebabkan putrinya sakit danakhirnya meninggal dunia.namun setelah mendengar penjelasan dari raden Trunoyudha sang empu bisa memahluminya.

 

GIYANTI

              Untuk mengenang Dyah Ayu Boja didalam PENANTIANNYA menunggu sang kekasih atas permintaan raden Trunoyudha kampung Alas Batur Agung dirubah namanya menjadi DESA SRI GIYANTI yang bermakna GADIS YANG SEDANG MENANTI (MENGHITUNG HARI) serta mengangkat Empu Wirokelang sebagai Demang (kepala desa) saat itu. dalam perkembangannya nama desa Sri Giyanti hanya di sebut dengan nama desa GIYANTI.

SEJARAH KEPEMIMPINAN GIYANTI

              Berdasarkan cerita atau keterangan orang tua zaman dahulu kala Desa Giyanti adalah desa yang di Pimpin Oleh Kepala Desa dengan Pangkat “AKUWU” atau yang bubak kawah Desa Giyanti, dan Sampai sekarang Nama Giyanti tetap Abadi dan Kelanjutanya di teruskan oleh Pengganti-Pengganti yang memegang Kekuasaan di Desa Kami (KEPALA DESA), Adapun Kepala Desa Penerus di Desa Giyanti adalah sebagai berikut:

1.     Jaya Witana ( Dukuh Kalibatur - s/d 1890)

2.     Karta Sentana ( Dukuh Kalimangir Tahun 1890 - s/d 1904)

3.     Partawisesa ( Dukuh Kedunggondang Tahun 1904 s/d 1912)

4.     Meja Semita ( Dukuh Kedunggondang Tahun 1912 s/d 1921)

5.     Wira sentana ( Dukuh Giyanti Tahun 1921 s/d 1924)

6.     Suta Wijaya ( Dukuh Kalibatur Tahun 1924 s/d 1936)

7.     Kartawireja (Dukuh Kalimangir Tahun 1936 s/d 1946)

8.     Wirareja (Dukuh Giyanti Tahun 1946 s/d 1984)

9.     Sumarto (Dukuh Kalimangir Tahun 1984 s/d 1985)

10.  Sukemi ( Dukuh Kalimangir Tahun 1985 s/d 1993)

11.  M.Rusmadi ( Dukuh Kalibatur Tahun 1993 s/d 2007)

12.  Tukiran ( Dukuh Kedunggondang Tahun 2007 s/d 2013)

13.  Mujiman Al Baiman ( Dukuh Kedunggondang Tahun 2013 s/d 2019)

14.  Rakiman ( Dukuh Giyanti Tahun 2019 s/d Sekarang)